
Berita Otomotif dan Dunia Balap – Pemerintah Indonesia tengah gencar memberikan insentif untuk mendukung penggunaan kendaraan listrik Kritikan terhadap Subsidi (EV) dengan tujuan mengurangi dampak lingkungan dan mendorong perubahan menuju transportasi ramah lingkungan. Meskipun langkah ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, tidak sedikit juga kritikan yang muncul, terutama dari pengamat tata kota. Nirwono Yoga Dalam pandangannya, meskipun kendaraan listrik mungkin lebih ramah lingkungan di bandingkan kendaraan berbahan bakar fosil. Insentif ini tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan utama yang di hadapi kota-kota besar seperti Jakarta.
Kemacetan dan Kendaraan Kritikan terhadap Subsidi Pribadi: Solusi Sementara
Salah satu alasan mengapa Nirwono Yoga mengkritik kebijakan subsidi kendaraan listrik adalah ketidakterjangkauan dari solusi utama—kemacetan. Jakarta, sebagai ibu kota Indonesia, sudah lama di kenal dengan permasalahan kemacetan yang parah. Meskipun kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang dan suara bising, mereka tetap menggunakan ruang jalan yang sama dengan kendaraan konvensional. Ini, menurut Nirwono, hanya akan menggeser masalah kemacetan tanpa mengurangi intensitasnya.
“Jika subsidi kendaraan listrik di berikan, masalah kemacetan tetap ada. Bedanya, kendaraan listrik tidak berasap dan tidak bising. Namun, itu bukan solusi yang tuntas,” ujar Nirwono. Menurutnya, kebijakan ini justru membuat masyarakat semakin dimanjakan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Alih-alih beralih ke transportasi umum yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Dampak Lingkungan yang Terabaikan: Masalah Sampah Baterai
Selain masalah kemacetan, ada satu lagi Kritikan terhadap Subsidi permasalahan yang di anggap belum di tangani dengan serius, yaitu sampah baterai kendaraan listrik. Meskipun kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi gas buang seperti kendaraan berbahan bakar fosil. Baterai yang di gunakan untuk menggerakkan kendaraan tersebut mengandung bahan berbahaya yang dapat mencemari lingkungan jika tidak di kelola dengan baik.
“Masalah baru yang muncul adalah bagaimana Kritikan terhadap Subsidi mengelola sampah baterai kendaraan listrik. Kita belum punya sistem pengolahan yang baik untuk itu,” lanjut Nirwono. Ini menjadi masalah yang serius karena pengelolaan limbah baterai yang tidak efisien dapat menambah beban lingkungan.
Kebutuhan Mendasar untuk Kritikan terhadap Subsidi Transportasi Umum
Di tengah kritik tersebut, Nirwono menyarankan agar alokasi dana subsidi tidak hanya di fokuskan pada kendaraan pribadi, tetapi juga pada sektor transportasi umum. Menurutnya, transportasi umum seharusnya menjadi tulang punggung dari sistem transportasi kota yang berkelanjutan. “Kota-kota di seluruh dunia yang maju, transportasi umumnya adalah prioritas utama. Sementara di Indonesia, kita masih mengutamakan kendaraan pribadi,” katanya.
Pemerintah, dalam pandangan Nirwono, seharusnya lebih mengutamakan pengembangan dan insentif untuk transportasi umum. Jika anggaran subsidi di arahkan untuk memperbaiki infrastruktur dan kualitas transportasi umum. Di harapkan lebih banyak warga yang beralih menggunakan moda transportasi tersebut, yang pada gilirannya akan mengurangi kemacetan dan polusi di kota-kota besar.
Menuju Kota Berkelanjutan
Untuk mencapai kota yang berkelanjutan, Nirwono menekankan pentingnya perubahan paradigma. “Transportasi umum harus menjadi pilihan utama, dan targetkan 80 persen masyarakat menggunakan transportasi umum. Seperti yang di terapkan di kota-kota maju di dunia,” jelas Nirwono.
Dengan demikian, walaupun kendaraan listrik memiliki potensi untuk mengurangi emisi, Nirwono berpendapat bahwa untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih besar pada pengembangan sistem transportasi umum yang efisien dan ramah lingkungan. Subsidi kendaraan listrik hanya akan memberikan dampak yang terbatas jika masalah kemacetan dan pengelolaan sampah baterai tidak di tangani secara holistik.
Sumber : Kompas.com